Eksploitasi Concubinage dan Subjek Subaltern: Hegemoni atas Perempuan Indonesia dalam Tinjauan Kritis Pascakolonial dan Feminisme Novel De Winst Karya Afifah Afra

Bambang Aris Kartika(1*)

(1) Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Jember, Jalan Kalimantan 37 Jember 68121
(*) Corresponding Author

Abstract


Tulisan ini membahas praktik kolonialisasi Belanda yang mengakibatkan terjadinya bias ketidakadilan gender terhadap posisi perempuan Indonesia dalam novel De Winst karya Afifah Afra. Bias ketidakadilan gender ini tercermin dari adanya eksploitasi secara seksual terhadap kaum perempuan dengan menjadikan mereka sebagai concubinage atau gundik dan menjadi subjek subaltern akibat praktikal hegemoni kekuasaan kaum laki-laki kulit putih kolonial Belanda. Melalui pendekatan teori pascakolonial dan ragam kritik sastra feminisme pascakolonial diperoleh suatu pemahaman bahwa kaum perempuan pada masa kolonial menjadi subjek yang termarginalkan, baik secara seksual maupun sosial. Kaum perempuan tidak memiliki bargaining power dalam ranah hukum untuk menuntut adanya pengakuan sebagai istri yang sah dan memiliki kedudukan yang terhormat, bukan menjadi korban dominasi kekuasaan laki-laki atas tubuh, baik secara seksual maupun tenaga untuk urusan domestik rumah tangga (double burden), termasuk juga stereotipe negatif yang cenderung merendahkan harkat dan martabatnya sebagai perempuan.

Abstract :
This paper discusses the practice of Dutch colonization which resulted in a gender injustice bias toward the position of Indonesian women in the novel De Winst author by Afifah Afra. This is reflected from the practical sexual exploitation against women by making them as concubines (concubinage) or “wives” who are actually represented as a concubine because of no formal “diperistri” by white people and become the subject of subaltern or oppressed because of the practical power of the male hegemony white man of Dutch colonial. Through a variety of postcolonial theory and postcolonial feminist literary criticism, the analysis gained an understanding that women in the colonial period became the subject of both sexually marginalized and social. These women had no bargaining power in the realm of law to demand the recognition of the legitimate as a wife and a respectable position, not a victim of male domination of power over the body, either sexual or domestic labor for their household affairs (double burden ), including negative stereotypes that tend to lower their dignity as women.

Key Words: concubinage; subaltern; colonialism; theory of postcolonialism; postcolonial feminist literary of critics

Keywords


konkubin; subaltern; kolonialisme; teori pascakolonialisme; kritik sastra pascakolonial

Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.24257/atavisme.v14i1.102.51-64

Article metrics

Abstract views : 1342 | views : 956

Refbacks

  • There are currently no refbacks.




ATAVISME INDEXED BY:

   

ATAVISME is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License

Visit Number:

View My Stats